Kita "bisa" jika NIAT lebih dahulu merasuk PIKIRAN

Kita "bisa" jika NIAT lebih dahulu merasuk PIKIRAN
Diatas putihnya kertas ada coretan tinta hitam yang menjadi arsip perjuangan kita!!!

Senin, 28 Februari 2011

AGRESI

Psikoanalisa Erich Fromm
Apakah kekerasan itu suatu potensi bawaan atau bukan? Fromm meninjau kembali konsep agresi psikonalisa Freud, membandingkannya dengan berbagai gejala sifat destruktif individu dan masyarakat.
Fenomena kekerasan pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak diturunkannya manusia di dunia, sejarah kekerasan telah ditampilkan oleh anak turun Adam-Hawa, dengan tewasnya Habil di tangan Qobil. Inilah tragedi kekerasan pertama yang disertai dengan pemaksaan kehendak terhadap seseorang dalam literatur sejarah peradaban manusia. Bahkan, sampai sekarang, kekerasan seakan menjadi simbol untuk menjadi penekan atas pengakuan "kedaulatan" seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain.
Setidaknya, ornamen kekerasan selalu muncul dalam setiap pergantian sejarah peradaban manusia. Kekerasan akan mencapai puncaknya dengan munculnya tragedi peperangan. Namun peperangan yang paling destruktif dan paling kejam, menurut Fromm dalam catatan kakinya, adalah adanya perang saudara yang tidak saja akan menghancurkan secara fisik, namun lebih jauh akan saling menghancurkan secara ekonomi, sosial, politik kedua pihak yang saling bertikai. Sebab kekerasan tersebut pada akhirnya hanya akan menjadi semacam tradisi bilamana salah satu dari keduanya merasa terancam, yang itu akan bergantung dari besar kecilnya ancaman yang dirasakan. Dan kenyataan membuktikan, dalam kekerasan yang cenderung mentradisi, letupan sekecil apapun akan meledak sedemikian dahsyatnya.
Dalam buku yang mencoba mengupas akar kekerasan pada diri manusia ini diketengahkan analisa Sigmund Freud dengan teori instingnya maupun Konrad Lorenz dengan teori agresinya, yang mendapat kritik tajam Erich Fromm. Manusia, kata Freud, tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting seksual dan insting mempertahankan diri, yang lantas ini diperbarui kembali dengan konsepnya yang menyatakan tentang insting eros (kehidupan) dan insting kematian. Para penganut Freud mengkompromikan insting destruktif sebagai kutub lain dari insting seksual. Sebaliknya, insting kematian bisa menjadi picu merusak diri, atau kecenderungan merusak pihak lain. Hal ini merupakan pengembangan dari asumsi dasar bahwa manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk merusak, serta pilihan untuk lepas dari pengaruh tersebut terbatas. Sehingga kecenderungan agresi, bagi Freud, bukan reaksi atas stimulan yang muncul melainkan memang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Pendek kata, bahwa perilaku agresi manusia adalah tak lepas dari hasratnya sebagai manusia.
Sedangkan Lorenz mengupas sebab adanya kekerasan adalah dari faktor biologis di luar kendali manusia yang disebabkan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Energi yang mengumpul dan mengendap siap meledak, meski tanpa adanya stimulan. Dengan kata lain, bahwa sebenarnya agresi sudah ada dan terpasang pada diri tiap manusia. Sehingga dengan stimulan paling kecil pun, atau tanpa adanya stimulan, agresi tersebut tetap akan mencari pelampiasan. Malah menurut Lorenz dibentuknya partai politik oleh manusia adalah guna menemukan stimulan untuk melepaskan energi agresi yang tertekan.
Bila pernyataan Freud atau Lorenz benar, bahwa perilaku manusia tidak akan menyimpang dari insting kemanusiaannya dan respon agresi dari faktor eksternal, lantas apa bedanya hewan dengan manusia? Bukankah keduanya sama-sama memiliki insting kehidupan dan kematian? Karena hewan pun mempunyai insting kehidupan, bertahan diri dari serangan atau ancaman dari luar. Nampaknya inilah yang akan menjadi sasaran kritik Fromm. Menurutnya, Freud tak cukup konsekwen dengan konsepnya. Agresi yang tercermin dalam perilaku manusia tak cukup hanya dirangkum dalam satu hasrat. Antara insting pelestarian diri-libido dan insting kehidupan-kematian adalah berlawanan satu sama lain. Dengan demikian Freud telah menyatukan kecenderungan-kecenderungan yang pada kenyataannya bukan merupakan satu kesatuan. Sedangkan teori Lorenz pada intinya ada dua. Pertama, bahwa agresi pada dasarnya sudah tertanam pada diri manusia. Dan yang kedua adanya dorongan tenaga hidrolik, sebagai tenaga pelampiasan melakukan hal keji dan kejam. Menurut Fromm tidak cukup bukti pendukung yang bisa diketengahkan teori tersebut. Karena teori tersebut bersimpul pada satu kategori, yaitu agresi. Sedangkan Fromm menguraikan agresi dengan pendekatan psikoanalisis. Psikoanalisis tersebut pada dasarnya adalah teori tentang upaya non nurani, resistensi, pemalsuan realita menurut kebutuhan subjektif, harapan, karakter dan konflik antara upaya-upaya berhasrat yang terkandung di dalam ciri pembawaan dengan tuntutan pemertahanan-diri. Sehingga sejauh mana seseorang dapat menekan hasratnya bukan hanya tergantung pada faktor internal diri seseorang, melainkan juga pada situasi. Dengan demikian agresi sama sekali bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman, meski pada umumnya semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman terhadap kepentingan hayati. Dalam bentuk yang lebih kompleks adalah ancaman terhadap kebutuhan akan ruang fisik dan atau terhadap struktur sosial suatu kelompok.
Ditinjau dari hasrat dan kondisi sosial manusia, baik itu dalam struktur sosial maupun sistem kelompok, akan mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam kepentingan hayatinya. Namun untuk memahami fenomena kedestruktifan manusia tersebut, kata Fromm, yang perlu menjadi perhatian adalah diabaikannya makna dan motivasi spiritual religius ketika dalam suasana dan kondisi yang berkecamuk. Bangsa, negara dan kehormatan warganya menjadi sesuatu yang disembah-sembah, dan kedua pihak yang saling bertikai dengan rela mengorbankan dirinya, anaknya serta harta bendanya demi "sesembahan" tersebut. Di sini Fromm menganalogikan sebuah ritual keagamaan (sekte) ke dalam situasi tak menentu massa, yaitu dengan menggambarkan "seseorang atau kelompok berani bertaruh apa saja demi apa yang dibelanya meski absurd". Fromm menekankan bahwa untuk memahami semua fenomena kedestruktifan dan kekejaman perlu mendalami motivasi religius yang mungkin ada di dalamnya, bukannya motivasi kedestruktifan dan kekejaman itu sendiri.
Mengapa manusia cenderung menggunakan kekerasan? Apakah kedestruktifan kelompok yang saling bertikai merupakan hasil dari hasrat mempertahankan diri? Dalam pembahasan agresi yang banyak percabangannya, disinggung adanya agresi dan narsisisme. Orang yang mempunyai narsistik tinggi merasa sangat perlu mempertahankan citra diri. Jika citra diri itu terancam, akan bereaksi dengan kemarahan yang amat sangat, dengan atau tanpa memperlihatkannya atau tanpa menyadarinya. Sedangkan pada narsisme kelompok, yang menjadi objek adalah kelompok tersebut. Dikatakan bahwa narsisme kelompok merupakan salah satu sumber utama keagresifan manusia. Bila pelecehan simbol narsisme kelompok dilakukan kelompok lain, maka reaksi kemarahan yang sedemikian besar akan terjadi bahkan sangat mendukung kebijakan perang yang dilontarkan pemimpinnya. Namun tentunya ini bikan faktor tunggal, ada motivasi lain yang mungkin lebih dari sekedar demi citra diri kelompok, bertahan maupun penegasan diri atau kelompok.
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa kedestruktifan maupun kekerasan dalam masyarakat tak jauh dari karakter sosial masyarakat sendiri. Sebab karakter merupakan ciri khas di mana energi manusia ditata untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu bertindak secara naluriah. Kelompok-kelompok manusia sedari dulu hidup dalam suasana keragaman. Konsep karakter sosial didasarkan pada pemahaman bahwa tiap bentuk masyarakat perlu menggunakan kelebihan manusia (dibandingkan dengan hewan) dengan cara-cara yang khas yang diperlukan untuk peranan masyarakat itu sendiri. Proses perubahan energi psikis umum menjadi energi psikososial khusus dijembatani oleh karakter sosial. Pendek kata, masyarakat harus memiliki dan mengetahui keinginan untuk melakukan apa yang harus mereka kerjakan jika ingin tertata baik. Sedangkan sarana pembentuk karakter, menurut Fromm, pada dasarnya bersifat budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Google, Web Indonesia. Psikoanalisa Erich Fromm : Menelusuri Akar Kekerasan Manusia.. 11 September 2003 10:25.
Erich Fromm. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia Penerjemah : Imam Mutaqin.  Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Januari 2000.
PROSOSIAL
PERILAKU PROSOSIAL ANTARA  SUKU BANGSA MELAYU DAN  SUKU BANGSA TIONGHOA

Pendahuluan
Indonesia sejak dulu dikenal oleh dunia karena masyarakatnya memiliki perilaku prososial yang tinggi seperti tercermin dalam perikehidupan yang rukun, solidaritas sosial yang tinggi, saling menolong, saling bekerja sama, saling mensejahterakan, dan penuh keramahan. Akhir-akhir ini banyak ahli harus mengernyitkan dahinya untuk dapat memahami berbagai fenomena  dan dinamika sosial yang berkembang dalam masyarakat. Para ahli menengarai terjadinya pergeseran dalam orientasi nilai hidup manusia Indonesia sebagai akibat proses industrialisasi dan modernisasi serta pembangunan yang terlalu menitikberatkan pada sektor ekonomi di masa yang lalu. Manusia Indonesia ditengarai mulai menunjukkan ciri-ciri dan karakteristik kepribadian yang individualistik, materialistik dan hedonistik. Sinyalemen ini diperkuat oleh adanya kenyataan yang berkembang dalam masyarakat yang menunjukkan masyarakat Indonesia menjadi mudah kehilangan pertimbangan terhadap efek perilakunya terhadap sesama warga bangsa seperti terjadinya tragedi kemanusiaan di Ambon dan Aceh.
Pada masa orde baru sebetulnya telah banyak upaya yang dilakukan untuk memelihara, meningkatkan serta mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa dan kesetiakawanan sosial di antara warga bangsa yang cukup intensif seperti tercermin dalam Penataran P4 dan Gerakan Kesetiakawanan Sosial Nasional, serta berbagai upaya yang dilakukan masyarakat. Upaya-upaya tersebut nampaknya belum optimal dapat memelihara, meningkatkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa yang luhur dan terpeliharanya kesetiakawanan sosial yang tinggi di antara warga bangsa. Kondisi tersebut terjadi karena perubahan dan pergeseran orientasi nilai hidup manusia Indonesia, serta adanya keragaman dari berbagai kelompok suku bangsa yang ada.
Atas dasar itu, maka penulis membatasi cakupan kelompok etnik yang akan diteliti pada kelompok etnis Melayu dan Tionghoa yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Penulis berpendapat kedua kelompok etnis tersebut berhadapan dengan suatu realitas yang memberikan rona dan corak tersendiri bagi perjalanan hidup bangsa Indonesia di masa depan, sehingga penelitian terhadap kedua kelompok etnik tersebut diharapkan dapat memberikan  gambaran atau proyeksi tentang masyarakat Indonesia umumnya.
Pada sisi lain berbagai perubahan nilai akan berdampak terhadap orientasi hidup dan eksistensi generasi baik generasi tua dan generasi muda. Kedua kelompok generasi yang berbeda usia tersebut akan menghadapi realitas perubahan sosial yang hebat. Generasi muda merupakan kelompok yang paling rentan terhadap berbagai perubahan nilai dalam hidup, seperti rentannya generasi muda terhadap nilai-nilai hidup yang berorientasi  material, global dan universal sehingga menjadi individualistik, materialistik dan hedonik. Generasi muda cenderung mudah terjerumus ke dalam pola-pola hidup yang merugikan seperti penyalahgunaan narkoba dan zat-zat adiktif.  Perhatian terhadap orientasi nilai dan perilaku kedua generasi tersebut penting untuk dilakukan.
Selain itu, manusia tidak lepas dari status jenis kelamin, dan para ahli telah banyak mengupas perbedaan biologis, psikologis dan psiko-sosial kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan  (Hasbianto, 2000). Realitas perkembangan menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan peranan yang sama dan komplementer, sehingga upaya mengungkap bagaimana orientasi nilai dan kecenderungan perilaku prososial mereka dalam konstelasi perubahan sosial yang berlangsung cepat kiranya juga perlu diungkap.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan penelitian ini adalah apakah ada perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial antara orang suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa, antara generasi tua dan generasi muda.
Kerangka Konseptual
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengertian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat dan psikologis. Secara antropologis Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas baik individu maupun kelompok. Secara filosofis, Spranger (1928) menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang  tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Spranger corak sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang  paling bernilai.
Orang akan memandang segala sesuatu dengan kacamata nilai hidup yang dihargainya paling tinggi atau dominan itu sehingga nilai hidup yang lain yang berasal dari pengertian kebudayaan secara luas, akan diwarnai juga oleh nilai hidup yang dominan itu. Spranger menggolongkan adanya enam lapangan nilai, yaitu : (1). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, meliputi lapangan pengetahuan, lapangan ekonomi, lapangan kesenian, dan lapangan keagamaan. (2). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota masyarakat, yaitu : lapangan kemasyarakatan, dan lapangan politik. Pengertian nilai dari persepektif psikologis dikemukakan Munn (1962) bahwa nilai merupakan aspek kepribadian, sesuatu yang dipandang baik, berguna atau penting dan diberi bobot tertinggi oleh seseorang.
Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok dan menjadi referensi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya.
Kebudayaan merupakan adat istiadat yang menyangkut nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup sehari-hari yang dianut oleh sekelompok orang dan berfungsi sebagai pedoman tingkah laku. Menurut Bath (Suparlan, 1986) setiap golongan suku bangsa atau etnik mempunyai seperangkat kebudayaan yang melekat pada identitas suku bangsa atau etnik tersebut, yang sewaktu-waktu bila diperlukan dapat diaktifkan sebagai simbol-simbol untuk identifikasi dan untuk menunjukkan adanya batas-batas sosial dengan golongan suku bangsa atau etnik lainnya  dalam interaksi. Menurut Ghalib orang suku Melayu adalah mereka yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan beristiadat Melayu ( dalam Budisantoso, 1986). Tradisi kehidupan orang Melayu di Riau meletakkan sistem nilai agama Islam sebagai sistem nilai yang utama (Hamidy, 1995). Dalam kehidupan orang Melayu senantiasa ditekankan tentang kehidupan yang saling menghormati, saling memberi, rukun dan damai, rasa persaudaraan dan kekeluargaan, keramah-tamahan dan keterbukaan, kesetiakawanan, tenggang rasa, kemauan untuk bekerja keras, hemat dan prasaja (Diah dkk. 1988). Orang suku bangsa Melayu yang baik selalu merendahkan diri, tidak menonjolkan dirinya, tidak mau memaksakan kemauannya jika bertentangan dengan kemauan orang lain, senantiasa sahaja dan sedia kompromi (Rab, 1986). Nilai-nilai tersebut diperkenalkan dan ditanamkan sejak dini kepada anak-anak Melayu. Proses perubahan sosial juga tidak luput terus melanda masyarakat Melayu sehingga mungkin telah berdampak pada telah terjadinya berbagai perubahan nilai.
Perilaku prososial menurut William (1981) adalah tingkah laku seseorang yang bermaksud merubah keadaan psikis atau fisik penerima sedemikian rupa, sehingga si penolong akan merasa bahwa si penerima menjadi lebih sejahtera atau puas secara material ataupun psikologis. Pengertian tersebut menekankan pada maksud dari perilaku untuk menciptakan kesejahteraan fisik maupun psikis. Bartal (1977) mengemukakan perilaku prososial adalah tingkah laku yang menimbulkan konsekuensi positif bagi kesejahteraan fisik maupun psikis orang lain. Perilaku tersebut meliputi pengertian yang luas sehingga dalam penelitian ini penulis membatasi perilaku prososial pada perilaku menolong, bekerja sama, menyumbang dan membagi, serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain. Perilaku prososial dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu : (1) faktor situasional yang meliputi : kehadiran orang lain,   faktor lingkungan dan kebisingan, faktor tanggung jawab, faktor kemampuan yang dimiliki, faktor desakan waktu, latar belakang keluarga, dan (2) faktor internal yang meliputi : faktor pertimbangan untung rugi, faktor nilai-nilai pribadi, faktor empati, suasana hati (mood), faktor sifat, faktor tanggung jawab, faktor agama, tahapan moral, orientasi seksual, jenis kelamin, (3) faktor penerima bantuan yang meliputi : karakteristik orang yang memerlukan pertolongan, kesamaan penolong dengan yang memerlukan pertolongan, asal daerah, daya tarik fisik, (4) faktor budaya meliputi : nilai dan norma yang berlaku pada suatu masyarakat khususnya norma tanggung jawab sosial, norma timbal balik dan norma keadilan.
Rokeach (1973) mengemukakan lelaki mempunyai orientasi nilai yang lebih tinggi terhadap prestasi dan intelektual, lebih materialistic, berorientasi intelektual dan prestasi, lebih mencari kesenangan dari pada wanita, sedang wanita menempati nilai yang lebih tinggi dalam cinta, afiliasi dan keluarga, berorientasi nilai-nilai religius, kebahagiaan personal, self respect, kehidupan pribadi yang bebas konflik, bebas konflik antar kelompok.
Perbedaan perilaku prososial antara lelaki dengan perempuan masih menunjukkan kekaburan. Dari segi stereotif sosial wanita dianggap lebih perhatian, lebih emosional dan lebih sensitive terhadap kebutuhan orang lain dari pada lelaki. Lelaki diharapkan lebih kuat dan lebih tegas (Bem, 1974; Eagly, 1987; Piliavin dan Unger, 1985; Spence dan Helmreich, 1978 dan sarwono, 1997). Pandangan sosiologis lelaki diharapkan berperanan sebagai pelindung keluarga mereka, sementara perempuan diharapkan komitmen perhatiannya terhadap orang lain. Baron dan Byrne (1991) mengemukakan bahwa perbedaan tingkah laku prososial antara lelaki dengan perempuan sangat tergantung pada situasi dan macam perlakuan yang memerlukan pertolongan.


DAFTAR PUSTAKA
Adisubroto, D. 1987. Orientasi Nilai Orang Jawa serta ciri-ciri kepribadiannya, Disertasi (tidak diterbitkan), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bartal, D., 1976. Proposal Behavior : Theory and Reseach Washington, D.C. Hemisphere Publishing Co.
Hidayat, Z.M. 1977. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, Bandung :  Tarsito.
Spranger, E. 1928. The Types Of Men : The Psychology And Athics Of Personality. Max Niemeyer Verlag, Halle (Saale)
ALTRUISME
HUBUNGAN ANTARA MOTIF SOSIAL DENGAN PERILAKU ALTRUISME
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan sehingga mereka saling tolong menolong. Perilaku altruisme merupakan perilaku menolong yang tidak mengharapkan imbalan yang dimotivasi untuk mensejahterakan orang lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara motif sosial dengan perilaku altruisme. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 75 mahasiswa fakultas psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta. Untuk pengambilan data menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara motif sosial dengan perilaku altruisme. Ada hubungan anatara motif berprestasi dengan perilaku altruisme. Tidak ada hubungan anatar motif berafiliasi dengan perilaku altruisme. Tidak ada hubungan antara motif berkuasa dengan perilaku altruisme.
Di Indonesia, ketika kita berbicara tentang kepentingan umum dan pribadi, hampir dapat dipastikan akan menjumpai ungkapan klise semacam, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Ungkapan itu telah diterima sebagai kebenaran umum selama beberapa dekade. Bahkan sampai sekarang. Hal itu masih dianggap sebagai hal yang ideal.
Kenyataannya seiring dengan kemajuan teknologi informasi, sekarang ini kita dengan mudah dapat memperoleh informasi apapun dari belahan bumi manapun yang kita inginkan. Bersamaan dengan itu kita juga menerima hal-hal baru yang ikut serta berupa nilai-nilai, yang sifatnya kebalikan dari apa yang telah kita yakini sejak awal. Secara umum di dalam setiap buku atau film yang dihasilkan oleh barat, tampak bahwa mereka lebih egois dibanding masyarakat timur pada umumnya. Hal ini berarti kebalikan dari premis awal yang kita pahami sebelumnya -mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.
Dalam situasi dunia yang serasa semakin mengecil karena kemudahan dalam mendapat informasi, dan kesadaran yang timbul bahwa sebagai warga dunia kita saling bergantung, nilai-nilai yang umum berlaku di suatu kawasan juga ikut mengalami penyebaran. Keadaan ini kemudian menimbulkan clash. Di satu sisi, ajaran lama untuk mendahulukan kepentingan umum masih melekat di alam bawah sadar, di sisi lain kita cenderung menunjukkan bahwa kita lebih mendahulukan kepentingan pribadi.

Mari kita tengok ke belakang, kalimat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi bahkan tercantum dalam UUD 45, dasar negara kita. Jadi secara resmi sikap itulah yang mempunyai nilai baik dan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tetapi lihat saja, apakah keadaan seperti itu yang terjadi saat ini? Mungkin jawabannya adalah Ya, tetapi hanya terjadi pada masyarakat kecil saja. Mereka inilah yang masih ingat untuk bersikap mendahulukan kepentingan umum. Misalnya untuk alasan pembangunan sering kali masyarakat harus rela mengorbankan hak miliknya -dengan dalih mendahulukan kepentingan umum tadi, diambil negara, tanpa atau hanya dengan penggantian yang sekedarnya.
Dibandingkan dengan mereka, bagaimanakah perilaku para elite negara ini. Kelihatannya jauh, bahkan sangat jauh dari sikap itu. Para elite kita umumnya lebih mendahulukan agenda-agenda yang berhubungan dengan kepentingan pribadi atau golongan mereka daripada kepentingan rakyat banyak (yang seharusnya mereka wakili, fasilitasi dan lindungi)
Saat kita membaca buku -pengarang luar, saat kita menonton film -lebih banyak film luar, atau kita membuka atau mencari tahu segala macam informasi di internet -disediakan oleh orang luar, secara tidak langsung pola pikir, nilai-nilai, terutama yang tersirat di buku atau film atau informasi-informasi tersebut ikut meresap dalam benak kita. Jadi sikap mereka yang rasional dan praktis yang tercermin dalam buku-buku dan film itu terserap oleh kita. Kadang-kadang hal itu terselubung dalam satu istilah modern. Jika kita dapat berpikir rasional dan praktis itu menjadi ukuran bahwa kita sudah modern.
Padahal, suka atau tidak, pada saat kita menerapkan pola pikir rasional dan praktis, kita cenderung akan egois. Sifat egois -mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, lahir dari sikap rasional dan praktis. Padahal kembali lagi, sikap rasional dan praktis itulah yang modern. Sehingga terjadi kontradiksi di sini. Melihat susunan piramida masyarakat, tentulah para elite yang berada di atas. Mereka yang punya kemampuan lebih banyak untuk mengakses informasi semacam itu, mereka pula yang kemudian terlebih dahulu mampu untuk berpikir rasional dan praktis, dan kemudian menjadi egois.
Sebenarnya hal itu tidak selalu berarti buruk. Dalam ukuran yang tepat kita memang harus egois. Ada pepatah yang berbunyi, sebelum bisa menyelamatkan orang lain, selamatkan dirimu sendiri. Persis begitu keadaannya. Bila ditabrakkan dengan nilai-nilai kita, kedengaran tidak menyenangkan bukan? Wah memikirkan diri sendiri. Tapi kalau kita telaah lebih lanjut memang harus begitu yang terjadi. Contohnya apabila kita semua hampir tenggelam di laut karena kapal yang kita tumpangi karam, kita harus menyelamatkan diri sendiri dulu baru kita bisa menolong orang lain. Apakah ini egois? Tidak. Rasional, ya. Tapi kesan yang ditangkap bila diukur dengan nilai-nilai kita? Ya, itu egois.
Benturan antara modernitas plus pemikiran rasional dan praktisnya di satu sisi dengan nilai-nilai lama kita untuk selalu mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Dengan tidak bermaksud melakukan pembenaran atas apa yang sering kita lihat -tingkah polah eksekutif kita yang sering dituding hanya mementingkan golongannya atau mencari keuntungan pribadi, tetapi hanya mengajak untuk melihat hal ini dari kaca mata yang lain.
Mungkin kita harus mendefinisikan ulang tentang mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi ini atau istilah kerennya altruisme. Dalam konteks apa sifat altruisme ini dikembangkan. Dalam konteks apa pula mau tidak mau kita harus egois. Ini bertabrakan, tidak ketemu. Itulah sebabnya kita juga bingung. Maunya bersikap altruis, tapi kalau dinalar baik-baik tindakan kita akan jadi egois. Apa yang harus kita lakukan?
Supaya dapat melihat situasi yang yang dihadapi dengan lebih jelas dan dapat berpikir lebih jernih. Sehingga kita dapat memilih tindakan yang tepat untuk dilakukan. Jangan terjebak dengan permainan kata altruis atau egois. Ini tidak mudah. Tapi kita betul-betul tidak dapat mematok ukuran suatu sikap sebagai sikap yang paling tepat. Semua akan tepat pada situasi yang tepat.
Kita semua sedang menggeliat mencari sikap yang paling tepat untuk menggabung dua kepentingan ini, menjaga kepentingan umum tetap dipenuhi tapi juga tidak mengabaikan kepentingan pribadi.
Karena bila hanya salah satu sikap yang kita ambil, akan ada ruang yang kosong dalam diri kita yang minta diisi. Seperti halnya segala sesuatu terdiri atas 2 sisi, begitupun sifat manusia. Ada altruis, ada egois. Tidak perlu menonjolkan salah satu sampai yang lain tenggelam. Cukup seimbangkan. Begitu seimbang, keduanya akan lenyap. Tidak ada altruis yang berlebihan, tidak ada egois yang menyakitkan. Kapan hal itu datang? Saat kita lebih tenang. Dan ketenangan itu harus diusahakan, karena alaminya kita sulit untuk tenang.

DAFTAR PUSTAKA

Hesty Lestiani.  Blog News Heny Lestiani, Google;web dari Indonesia.
Rostiana, MSi., Psi. dan M. Nisfiannoor Msi., Psi.  Suatu Studi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta.

melatih berpikir : konteks, atribusi, dan perceived behaviour

mana diantara ketiga hal itu yang paling berpengaruh dalam dinamika sosial?

manusia selalu berada dalam lingkup waktu dan konteks peristiwa yang selalu hidup dari kontribusi perilaku antar manusia dan fenomena aktif yang terus bekerja membentuk kejadian.

mengapa satu peristiwa bisa menjadi satu pengalaman, membangun pengetahuan, berkembang menjadi keilmuan, atau membentuk sejarah?

hal ini adalah karena manusia secara aktif membentuk diri dan lingkungannya. dengan atribusi sosial yang bekerja secara aktif, mempengaruhi kita dalam membentuk sikap dan perilaku kita, dan dapat merubah karakter dan kebiasaan yang kita miliki.

lebih sering kebanyakan orang bekerja dengan template kognisi perceived behavior yang bekerja aktif dibandingkan dengan membentuk dan memiliki sikap sendiri. dan parahnya lagi, perceived behavior ini tidak hanya bekerja dalam lingkup perilaku saja, tapi kebanyakan sudah menjadi cara berpikir, membentuk sudut pandang yang kaku.

akhirnya, tak ada yang tahu atau mampu memahami konteks dan peristiwa yang ada di sekelilingnya dengan sebenar-benarnya, secara jujur, dan menjadi jeli.

melatih berpikir :
hanya sebuah upaya pencahayaan, untuk diri sendiri, agar tidak terjebak dalam perceived behavior template bentukan lingkungan,
dan kehilangan jati diri.

semoga bisa mencerahkan siapapun juga.
manusia, dunia, dan pertanggungjawaban atasnya.

own definition:
konteks : kerangka waktu dan situasi dari peristiwa berkaitan dengan situasi sosial, peristiwa, dan manusia yang terlibat di dalamnya
atribusi : apa yang dipandang orang lain dari diri orang lain, bisa menjadi satu label. dilakukan secara aktif dan alami dalam mekanisme sosial psikologi sebagai wadah dari manusia dalam memahami lingkungannya. membagi manusia berdasarkan label-label sosial yang ada.
perceived behaviour : pandangan untuk membuat suatu perilaku yang dianggap diharapkan oleh orang lain untuk kita lakukan. dipengaruhi oleh keberadaan dan pengaruh sejumlah komponen yang dianggap signifikan oleh individu tersebut.





Misteri Senyum Amrozi
  Oleh: Edy Suhardono

 
BEGITU senyum Amrozi kepada wartawan diekspose ke media, para pembaca koran dan pemirsa televisi seolah tahu pasti makna senyum dari tersangka peledakan bom di Bali itu. Tak ayal, tayangan di televisi dan foto di surat-surat kabar yang memperlihatkan Amrozi sedang tersenyum di ruang interogasi menimbulkan kemarahan publik Australia, negara yang menanggung 66 korban meninggal dari sekitar 180 korban peledakan bom tersebut. Sampai-sampai Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer menyatakan rasa muak dan terkejut atas gambar tayangan televisi mengenai pertemuan Amrozi dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar. Ungkapnya, "...Saya berpikir bagaimana rasanya bila salah seorang anak saya atau kerabat saya atau orang yang saya cintai tewas pada peledakan bom 12 Oktober itu," kata Downer. (Kompas, 14/11/2002)
Apakah Amrozi seorang yang, seperti disebut Downer, haus darah hanya karena "tampak senang dan mengejek pada pembantaian orang-orang tak bersalah? Apakah ekspresi Amrozi harus membuat "mual dan sedih" semua orang seperti disebutkan Monica Sanderson, orangtua Greg, salah seorang korban? Terlepas dari kesedihan yang mereka dan kita rasakan, adilkah "vonis sosial praperadilan" yang ditanggung Amrozi? Menurut hemat penulis, dengan peluang kejadian 50-50, amat mungkin kita salah tafsir atas bahasa nirkata Amrozi.
Tafsir budaya dan bahasa tubuh
Dibanding dengan kesulitan karena perbedaan bahasa, komunikasi face to face kadang lebih efektif daripada komunikasi tak langsung semisal melalui tulisan surat. Penampilan, tonasi suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh menjadi informasi ekstra yang memperkaya pemahaman pihak yang terlibat komunikasi dalam kondisi perbedaan bahasa. Namun, kesulitan lebih serius justru timbul karena faktor perbedaan budaya. Dalam kondisi ini, penambahan informasi nirkata justru meningkatkan kesalahpahaman. Ketika Amrozi terjebak dalam kesulitan komunikasi macam ini, ia kian masuk ke dalam situasi yang sangat memojokkan pribadinya secara psikososial.
Amrozi, sebagaimana orang Jawa umumnya, dikenal suka tersenyum sehingga ada stereotipe, Jawa adalah suku bangsa yang ramah. Orang Jawa masih dapat tersenyum saat sedang membicarakan kematian salah seorang anggota keluarganya. Padahal, senyum itu tak selalu dimaksud untuk menunjukkan kegembiraan tetapi untuk menenangkan diri. Orang Jawa bahkan sering tertawa saat mengekspresikan suatu sikap negatif. Padahal, ketawa ini sama maksudnya dengan ucapan: "Kamu ngawur!"
Bagi orang bukan Jawa, senyum Amrozi dirasa ganjil. Penulis pernah ditanyai seorang rekan peneliti dari Australia yang kebetulan sedang mengambil data di Surabaya: "Adakah yang tak beres dari penampilan saya sehingga orang tadi menertawakan saya?" Sementara, dengan derajat keheranan yang sama, orang yang baru saja bertemu dengan teman peneliti Australia itu menyempatkan bertanya kepada penulis "Kenapa teman bule-mu sepertinya 'telmi (telat mikir)' dan senyumnya kelewat serius?"
Bahasa tubuh menjadi bagian integral dari ucapan salam yang disampaikan orang Jawa. Ungkapan itu sejajar dengan orang Amerika yang mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, merangkul bahkan kadang mencium kenalan yang dijumpainya. Kontak antarpandangan mata juga bersifat lekat budaya. Orang Amerika boleh jadi merasa tidak tahan bercakap dengan orang Jawa yang tidak memandang langsung ke mata lawan bicara. Sebaliknya, orang Jawa menganggap "murahan" orang Amerika yang saat berhenti di traffic light menganggukkan kepala kepada pengemudi lain tak dikenal yang kebetulan membuka jendelanya.
Cara berpikir atributif
Ada kecenderungan orang untuk menjelaskan kejadian di lingkungan sosialnya sebagai hal "yang selalu diakibatkan" faktor-faktor nyata yang harus bertanggung jawab atau menjadi penyebab kejadian itu. Satu efek dari kecenderungan ini, seperti dianalisis para psikolog sosial, adalah adanya pola tanggap orang yang cenderung memilah-milah kejadian-kejadian menurut kaca mata positif atau negatif saja.
"Orientasi persepsi" macam ini-populer disebut "teori atribusi"-membawa orang ke kecenderungan untuk menjelaskan sebab suatu kejadian menurut konotasi yang ekstrem positif atau negatif saja. "Hipotesis Pollyana", misalnya, memperlihatkan betapa orang Amerika cenderung melihat dunia menurut kacamata optimistik, yang diungkapkan dalam bahasa Inggris sebagai good or pleasant.
Efek penting dari "teori atribusi" dinamakan halo effect. Yang dimaksud ialah fakta bahwa atribusi yang dibuat orang amat berkait dengan sistem klasifikasi kognitif tentang obyek yang bernuansa evaluatif atau yang mewakili sikap orang yang bersangkutan terhadap seseorang atau kelompok. 
Beberapa peristilahan dalam teori atribusi menunjukkan corak "kesentralan", yakni orang begitu mudah memberikan atribusi kepada pelaku dan menjadikan atribusi itu sebagai faktor sentral yang menjelaskan mengapa sang pelaku bertindak begitu.
Dengan penggambaran sebagai pelaku peledakan bom di Bali-di sini difungsikan sebagai sifat "sentral"-Amrozi masih dapat tersenyum saat diinterogasi, orang cenderung menambahkan sifat-sifat tambahan terhadap sifat sentral itu. Setidaknya, para pengacara Amrozi, yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) menilai, sikap Amrozi yang tampak enteng sekali mengakui kejahatan yang bisa berakibat hukuman mati itu mengherankan (Kompas, 17/ 11). Tak kurang, Ketua MPR Amien Rais pun mempertanyakannya, "...Apa iya Amrozi anak pesantren yang cerdas dan dapat ilmu ladhuni dari langit sehingga bisa bikin bom? Who knows?"
Keragaman etnik dalam gaya sosialisasi mewarnai perbedaan cara orang mempersepsikan, melabel, dan memberi evaluasi (baik-buruk, menyenangkan-tak menyenangkan, dan sebagainya) terhadap kejadian. Atribusi menjadi semacam "buku pintar" orang yang dapat menjelaskan manakah anteseden yang mengantar ke konsekuen, seperti yang berlaku pada logika standar. Buku pintar inilah yang diteorikan sebagai atribusi kausal yang dalam percakapan sehari-hari amat lazim dipakai melalui kata penghubung "karena", "jika...maka"., atau yang dalam bahasa nirverbal diungkapkan dengan collocation dan punctuation-dua hal yang berperan penting dalam komunikasi face to face.
Seberapa obyektif sebutan, label, atau penilaian sebagai produk atribusi? Analisis yang diangkat dari studi-studi eksperimental cenderung mengabaikan rekaman perasaan dan pikiran, sebab rekaman semacam ini dianggap subyektif dan tak andal.
Alasan pertama, karena label atau sebutan tidak mendasarkan pada isi pikiran dan perasaan, tetapi lebih merupakan hal yang didasarkan pada kepentingan situasional tertentu. Akibatnya, persentasi atas sebutan atau penilaian tidak dengan bersifat introspektif; tetapi interpersonal, publik dan obyektif. Yang lebih penting dilakukan ialah menjabarkan konteks kejadian di mana sebutan itu dibangun.
Alasan kedua, sebutan "Amrozi adalah pembunuh haus darah" tak dapat dibedakan dengan sebutan yang dibuat orang lain dengan maksud sekadar menghibur diri menghadapi misteri Amrozi. Jadi, jika faktor pemberi sebutan disisihkan sebagai pihak yang membangun sebutan, dipertanyakan apakah sebutan yang sudah telanjur dikenakan pada Amrozi pantas menjadi kesimpulan hanya berdasarkan senyumnya.
Buta budaya membuat orang kehilangan kendali atas ekspresi nirkata yang mereka tangkap. Bahasa tubuh Amrozi bagi publik Australia tidak hanya sulit ditangkap, tetapi juga menimbulkan perasaan tak enak justru karena ketakpahaman mereka terhadap tonasi dan ekspresi wajah Amrozi. Adalah amat gegabah mengadili atau menilai Amrozi semata berdasar ekspresi nirverbalnya. Perlu kesabaran dan ketekunan untuk mengatasi perasaan bias budaya, jika kita ingin memahami orang lain yang beda budaya dengan kita.



PROPOSAL PENELITIAN KUANTITATIF


Pendekatan penelitian kuantitatif digunakan ketika peneliti menggali atau ingin memperoleh generalisasi pengetahuan baru yang menggambarkan atau menjelaskan suatu fenomena yang bersifat objektif, yakni yang berlaku secara umum atau meluas untuk suatu populasi penelitian.   Proposal penelitian yang menggunakan pendekatan tersebut, sekurang-kurangnya memuat unsur-unsur berikut :

A.   Latar Belakang Masalah
Uraikan mengapa masalah ini menarik untuk diteliti dengan menyajikan gambaran fakta/keadaan yang terjadi dan kaitkan dengan konsep, peraturan atau kebijakan sehingga tampak ada kesenjangan. Lengkapi dengan data kuantitatif setidaknya tiga tahun terakhir (Lihat trend nya) sehingga nampak bahwa masalah tersebut penting untuk diteliti. Gambarkan pula alasan pemilihan lokasi penelitian.

B.   Permasalahan Penelitian
Dalam permasalahan penelitian, masalah yang akan diteliti hendaknya diformulasikan secara spesifik (dibatasi) dan hendaknya dirumuskan dalam bentuk kalimat pertanyaan yang tegas dan jelas untuk menajamkan perumusan masalah.

C.   Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian antara lain:
1.    Memperoleh data atau gambaran tentang aspek-aspek yang menjadi sasaran penelitian dan menjawab perumusan masalah.
2.    Mengidentifikasi dan merumuskan gagasan, pemikiran, rencana dan program pemecahan masalah.

D.   Manfaat Penelitian
Jelaskan manfaat penelitian yang diperoleh dari penelitian yang akan dilakukan, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.  Pada manfaat teoritis, gambarkan bahwa penelitian tersebut bermaanfaat untuk pengembangan ilmu pada cabang ilmu yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.  Sedangkan pada manfaat praktis, gambarkan bahwa hasil penelitian tersebut dapat memberikan masukan bagi penyusunan berbagai alternatif pemecahan masalah berkaitan dengan isu penelitian yang dibahas.






E.    Kerangka Pikir/Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini penulis harus menguraikan tinjauan pustaka. Menurut sebagian pendapat tinjauan pustaka sama dengan kerangka pikir, walaupun ada yang mengatakan berbeda. Tinjauan Pustaka adalah sumber penunjang teori yang relevan dengan masalah yang diangkat yang telah diidentifikasi. Jadi bukan banyaknya kutipan yang ada. Tinjauan Pustaka harus menunjukan empat sikap: Selektif, Kritis, Komparatif dan Analitik.
Sikap Selektif yaitu semua bahan yang terhimpun dan digali informasinya akhirnya dipilih yang paling tinggi relevansinya dengan penelitian yang dilakukan.  Sikap Kritis  yaitu sikap yang mencerminkan kemampuan penulis untuk berpendapat terhadap pandangan dari pihak lain.  Sikap Komparatif yaitu suatu usaha untuk mencari sumber perbandingan untuk memperkuat dukungan. Sikap Analitik yaitu kemampuan menganalisis berbagai teori-teori atau pendapat sebagai titik tolak untuk membangun ramuan dan sistem pemikiran baru dalam rangka membahas permasalahan yang ada.
         Kerangka pikir hendaknya menjelaskan konsep atau teori tentang variabel penelitian yang dijadikan dasar untuk mengoperasionalkan variabel penelitian dan hubungan antar variabel atau antar dimensi variabel.

F.    Metode Penelitian
1.    Disain Penelitian
Disain penelitian menjelaskan pilihan pendekatan kuantitatif, metoda penelitian yang akan digunakan dan alasannya. Penjelasan metode penelitian hendaknya memberikan informasi yang ringkas tentang bagaimana rancangan cara penelitian tersebut akan dilakukan. Dengan demikian, penjelasannya tidak cukup dengan menguraikan pilihan tipe umum tujuan penelitiannya (seperti Deskriptif atau Eksplanatori), tetapi menjelaskan pilihan metode (seperti Survey Deskriptif, Survey Eksplanatori, Survey Deskriptif dan Eksplanatori, Praeksperimen, Eksperimen Semu, atau Eksperimen Sebenarnya). Penjelasan pilihan metode tersebut perlu dilengkapi dengan penjelasan kesesuaian pilihan metode dengan tujuan penelitian serta penjelasan aplikasi bagaimana metode tersebut akan dilaksanakan untuk mencari jawaban masalah  penelitian yang diajukan.

2.    Populasi dan Penarikan Sampel
Identifikasi terlebih dahulu siapa saja yang akan dijadikan sebagai sasaran penelitian yang akan menjadi batasan berlakunya generalisasi hasil penelitian atau disebut populasi penelitian, sehingga dapat diketahui unit analisisnya secara jelas.  Misalnya, seluruh mahasiswa STKS Bandung tahun akademi 2007-2008, berjumlah 400 orang. 
Selanjutnya perlu dikemukakan ciri-ciri dari populasi yang menjelaskan kecenderungan homogenitas atau heterogenitas terutama pada karakteristik yang dianggap berpengaruh kuat  atau sangat  relevan dengan  variabel penelitian.  Misalnya menjelaskan rincian jumlah populasi tersebut menurut jenis kelamin, atau menurut tahun angkatan, atau menurut perbedaan status mahasiswa, atau menurut kelompok umur, atau karakteristik lainnya. 
Penjelasan karakteristik diperlukan untuk mengarahkan ketepatan pemilihan teknik sampling sehingga  menghasilkan sampel yang representatif.  Misalnya teknik Simple Random Sampling dipilih karena karakteristik populasinya relatif homogen; atau Stratified Random Sampling dipilih karena populasinya heterogen, terdiri dari sub-sub populasi (stratum) yang masing masing memiliki karakteristik yang berbeda, dan ada daftar keseluruhan anggota dari setiap subpopulasinya.  Karakteristik populasi juga dapat berguna untuk merancang analisis data.  
Jika peneliti akan melakukan penelitian sampel, beri alasan mengapa penelitian akan dilakukan terhadap sampel.  Tentukan besarnya (jumlah) sampel atau fraksi sampling (perbandingan sampel terhadap populasinya) yang akan diambil sedemikian rupa memadai untuk kepentingan analisis data dan menarik generalisasi.  Dalam menentukan besarnya fraksi sampling ini ada 4 (empat) hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
1)    Homogenitas dari populasi
2)    Tingkat presisi/ketelitian
3)    Teknik analisis yang akan digunakan
4)    Tergantung pada waktu, biaya, dan tenaga yang tersedia.
Pertimbangan hal tersebut  mengarahkan pada pilihan pendekatan statistik dan non statistik dalam menetapkan ukuran sampel.  Pendekatan statistik menitik beratkan pada target sampel optimum untuk mencapai tingkat ketelitian yang diharapkan yang disesuaikan dengan karakteristik  homogenitas/heterogenitas populasinya.  Ada beberapa rumus statistik yang dapat dipilih sesuai dengan karakteristik populasi dan/atau teknik sampling yang akan digunakannya.  Sementara pendekatan non statistik lebih menitik beratkan pada kemampuan peneliti.  Pendekatan terakhir tidak dianjurkan. Oleh karena itu beberapa ahli menyarankan jika menggunakan pendekatan tersebut  hendaknya jumlah sampel  tidak kurang dari batas minimal untuk kepentingan analisis statistik, misalnya Bailey menyarankan minimal 30.
Selanjutnya pilih teknik sampling yang paling tepat dan paling mungkin dilakukan untuk menghasilkan sampel yang diharapkan refresentatif (mewakili ciri-ciri populasinya).  Jelaskan alasan pemilihan teknik tersebut dan prosedur penarikan sampel yang akan dilakukan dengan menggunakan teknik yang dipilih tersebut.

3.    Definisi Operasional
Definisi Operasional menjelaskan bagaimana merumuskan konsep atau variabel penelitian yang abstrak ke tingkat yang lebih kongkrit, dapat diamati dan diukur. Dengan demikian definisi operasional menunjukkan dimensi-dimensi atau aspek-aspek dan/atau indikator-indikator dari konsep atau variabel yang diukur serta menjelaskan bagaimana cara mengukurnya.  Peneliti perlu melakukan studi literatur untuk merinci  dimensi-dimensi variabel secara lengkap dan tepat.   Contohnya : Dukungan sosial yang diterima ODHA dari pekerja sosial adalah perolehan skor dari jawaban  ODHA terhadap instrumen penelitian tentang dukungan sosial yang mencakup aspek-aspek bantuan informasi, dorongan emosional, bantuan instrumental dalam melaksanakan tugas-tugas sehari-hari, serta penilaian atau penghargaan terhadap ODHA.
Aspek-aspek dukungan sosial yang termuat dalam definisi operasionl tersebut  ditetapkan dengan berdasar pada hasil telaahan buku Measures and Concept of Social Support yang ditulis House dan Kahn (1985) yang secara garis besar mengartikan dukungan sosial sebagai hubungan interpersonal diantara dua orang atau lebih yang menunjukkan adanya bantuan emosional, informasi, instrumental, dan penilaian atau penghar-gaan serta memberikan pengaruh positif bagi si penerima.  Buku tersebut juga menjelaskan bentuk-bentuk dukungan dari setiap aspek tersebut.

4.    Pengumpulan Data
Kemukakan jenis data apa yang akan dikumpulkan dan teknik pengumpulan data yang akan dilakukan, misalnya data yang akan dikumpulkan yaitu data tentang karateristik responden, masalah yang dihadapi, bagaimana kondisi tempat tinggal responden, dan teknik yang digunakan misalnya wawancara, observasi, studi dokumentasi dan sebagainya.  Jelaskan bagaimana teknik tersebut akan dilaksanakan dalam menggali data berkenaan dengan variabel atau masalah penelitian, mengapa teknik tersebut dipilih, bagaimana keterbatasannya serta upaya yang akan dilakukan untuk memperkecil keterbatasan tersebut.  Penjelasan teknik pengumpulan data juga berkenaan dengan sumber datanya.

5.    Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Alat ukur atau instrumen penelitian yang akan digunakan terlebih dahulu perlu diuji keterandalannya sebelum digunakan.  Keterandalan alat ukur berhubungan dengan persoalan validitas dan reliabilitas alat ukur.  Validitas alat ukur mempersoalkan apakah alat ukur tersebut benar-benar dapat mengukur varibel yang hendak diukur, sementara reliabilitas alat ukur mempersoalkan apakah hasil pengukuran tersebut ajeg (artinya dapat memberikan hasil yang tetap selama varibel yang diukur tidak berubah).  Dengan demikian peneliti perlu menjelaskan bagaimana menguji validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan.  Misalnya untuk menguji validitas dilakukan dengan pengujian validitas isi, atau yang lainnya. Demikian juga dengan pengujian reliabilitasnya, apakah peneliti menggunakan Rumus Cronbach Alpa atau rumus lainnya. 
Beberapa teknik yang dapat digunakan dalam pengujian validitas antara lain : validitas muka (isi), validitas konstrak, atau analisis faktor; sedangkan dalam pengujian reliabilitas antara lain : Cronbach Alpha dan  Split half.  Pengujian reliabilitas umumnya dilakukan dengan menggunakan uji statistika, dan nilai koefisien reliabilitas yang diperoleh menunjukkan tingkat reliabilitasnya.  Meskipun demikian, adakalanya pengujian statistika tidak dapat dilakukan, misalnya ketika instrumen wawancara dirumuskan secara terbuka (tidak menyediakan alternatif jawaban) atau tidak terstruktur, reliabilitas instrumen tersebut sulit diuji secara statistik. Pada kondisi tersebut, cara untuk menjamin data yang diperoleh reliabel dapat dilakukan dengan membandingkan data dari sumber yang berbeda atau data yang diambil dengan cara yang berbeda. Tingkat reliabilitas dilihat dari kesesuaian informasi dari berbagai sumber atau teknik tersebut.

6.    Teknik Analisis Data
Disini perlu dikemukakan dan dijelaskan teknik analisis data yang akan digunakan apakah kuantitatif atau gabungan kuantitatif dan kualitatif, misalnya untuk hal mana yang dianalisis dengan teknik kuantitatif dan hal mana dengan teknik kualitatif. Pengolahan data kuantitatif menggunakan alat bantu statustik derskriptif atau statistik inferensial, sesuai dengan masalah yang diteliti, jenis data, dan tujuan penelitian.

7.Jadwal dan langkah-langkah Penelitian
Kemukakan jadwal dan langkah-langkah penelitian secara rinci. Langkah penelitian secara umum mencakup kegiatan : literatur review, penjajagan, penyusunan proposal penelitian, penyusunan instrumen penelitian, uji coba instrumen penelitian dan perbaikannya, pengurusan ijin penelitian,  pelaksanaan pengumpulan data, pengolahan dan analisis data, penyusunan laporan, serta publikasi.  Jadwal untuk setiap langkah tersebut dianjurkan ditampilkan dalam matriks time schedule.

G.   Daftar Pustaka
Daftar Pustaka adalah suatu daftar yang terinci dan sistematis dari sejumlah buku/karya ilmiah yang digunakan dalam tulisan Karya Ilmiah Akhir (KIA), baik secara langsung maupun tidak langsung.  Penyajian daftar pustaka diurutkan sesuai abjad sebagaimana tata cara penulisan yang ada selama ini. Sehubungan dengan mahasiswa STKS adalah calon Ahli Pekerjaan Sosial, maka mayoritas (60%) pustaka/buku yang menjadi acuan seharusnya adalah buku-buku pekerjaan sosial yang relevan dengan masalah yang diteliti.

Kamis, 17 Februari 2011

PIDATO PELANTIKAN PB-HPMIG PERIODE 2011 - 2013

Bismillah Hirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera untuk kita semua,
Yang saya hormati, Menteri Pemuda dan Olahraga RI, Bapak Dr. Andi Mallarangeng,
Yang saya hormati, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Bapak Dr. La ode Ida,
Yang saya hormati, Para Anggota DPD RI Provinsi Gorontalo,
Yang saya hormati, Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga,
Yang saya hormati, Deputi Bidang Pengembangan Pemuda,
Yang saya hormati, Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda,
Yang saya hormati, Para Alumni Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo (HPMIG),
Yang saya hormati, Ketua Umum KKIG Tinelo dan Lamahu Gorontalo,
Yang saya hormati, Para Ketua Umum PB HMI, PMII, KAMMI, IKAMI Sulsel, Permala Lampung, FKMB Betawi, KMM Minang, HPMMN Maluku Utara,

Hadirin sekalian yang saya muliakan,
Marilah kita bersama-sama, memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita tetap diberi kekuatan dan kesehatan, sehingga kita dapat bertatap muka dalam kesempatan yang membahagiakan ini.

Melalui kesempatan ini pula, saya ingin menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada kaum muda Indonesia, atas pemikiran, kajian, dan gerakan perjuangan yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Kemajuan yang kita capai hingga detik ini, tentu tidak terlepas dari kontribusi kawan-kawan semua. Pun, saya meyakini betul, bahwa kejayaan yang kita lihat, kita rasakan, dan kita impikan, tidak terlepas dari peran, kepeloporan, dan kepemimpinan kaum muda. Sehingga, tidak berlebihan kiranya kemudian kita menyebutnya sebagai the agent of civilization.         

Hadirin sekalian yang saya hormati,
Jika kita membaca dengan saksama dan hati-hati tentang kecenderungan piramida kependudukan kita sepanjang 10 tahun terakhir ini, maka kita akan menemukan sebuah fenomena menarik yang akhir-akhir ini menjadi topik hangat dalam tiap-tiap perbincangan. The windows of the opportunity. Sebuah keadaan di mana tingkat dependency ratio kita berada pada titik terendah. Para ahli kita kemudian meyakini, bahwa keadaan ini akan kita capai pada periode antara tahun 2020 sampai 2030. Sebuah kajian yang patut kita apresiasi.

Hadirin yang saya hormati,
Fenomena The windows of the opportunity hanya akan datang sekali pada setiap Negara. Dia menawarkan peluang yang besar bagi pencapaian cita-cita kemakmuran kita. Pada titik itu, distribusi usia produktif berada pada proporsi yang besar. Menjanjikan kemajuan yang terus tumbuh dalam kuantifikasi yang belum pernah kita rasakan dalam sejarah Republik ini. Cina telah membuktikan bagaimana mereka mampu memanfaatkan peluang itu dan hari ini mereka mampu memengaruhi dunia dengan kedigdayaan peradabannya.

Hadirin yang saya hormati,
Tantangan tersebut hanya mampu kita jawab melalui gerakan kultural yang dilandasi cita-cita bersama yang direkatkan oleh soliditas yang utuh dalam berbagai dimensi. Pertama, soliditas antar generasi. Kita – kaum muda – yang berada pada lapisan generasi termuda - gen 16 and gen 30 -  sudah waktunya menginisiasi sebuah proses komunikasi peradaban yang intensif dengan generasi di bawah kita. Mari kita belajar pada pengalaman masa lalu orang-orang tua kita. Dan kemudian dengan keyakinan penuh kita tawarkan masa depan yang gemilang pada mereka. Untuk cucu dan cicit mereka.Kedua, soliditas cita-cita. Pada konteks ini, kita harus berani mendefinisikan dengan tegas cita-cita perjuangan para pendahulu kita. Sebuah visi besar dan mulia. Cita-cita tentang keadaan yang “sejahtera dan berkeadilan sosial”.

Dan dimensi yang ketiga, soliditas kita sebagai bangsa Indonesia. Ketika berbicara tentang konsep ini, saya kemudian membayangkan bahwa di suatu masa, kita akan berteriak lantang pada dunia, bahwa “kebhinekaan adalah kunci kesuksesan kita”. Dunia tidak perlu mengajarkan kita tentang wacana kesatuan, karena leluhur kita telah mengajarkan dan menuliskannnya dengan jelas “melindungi seluruh rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.

Hadirin sekalian yang saya hormati,
Lingkungan strategis kita telah berada pada titik perubahan yang sangat ekstrem. Sadar atau tidak, kita sedang berada pada era transisi dari jaman industrial ke jaman informasi. Era ini kemudian telah mengubah cara pandang tentang dunia. Konsepsi dunia tidak lagi terbatas pada ide-ide mekanistik sebagaimana yang kita pahami selama ini. Semua gejala, fenomena, fakta menjadi sangat “liquid”. Hal yang perlu kita cermati dari perubahan itu adalah munculnya peran-peran gagasan yang mewujud dalam konsepsi filsafati ataupun pada level programatis. Pada konteks ini, gagasan telah menunjukkan dominansinya. Dunia kita sekarang adalah cerita-cerita tentang gagasan besar. Itu semua, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, menggiring kita dari era otonomi kekuasaan dan koalisi kepentingan. Siapa yang menyangka bahwa fenomena climate change dan global warming, yang puluhan tahun silam hanya menjadi isu kecil di kalangan aktivis lingkungan dan ilmuwan, tapi kemudian memaksa para pengusaha dan politisi untuk kemudian bersuara bersama-sama.

Hadirin sekalian yang saya hormati,
Lama sudah dialektika kaum muda mendominasi sejarah bangsa ini. Praktis, setiap perubahan orde tidak lepas dari pergulatan pikiran dan gerakannya. Segalanya terletak pada kemampuannya dalam menciptakan terobosan-terobosan baru. sehingga tidak heran kemudian energinya mampu menembus batas-batas kesadaran. Melakukan lompatan yang mampu menghipnotis jamannya. Kaum muda selalu hadir dengan gagasan. Sebuah pandangan tentang masa depan yang menjanjikan kemajuan. Berbicara seperlunya tentang masa lalu dan setia pada wacana masa depan. Karena orientasinya adalah how to predict the future. Membedah masa depan yang masih dianggap sebagai ruang-ruang hampa, lewat tradisi yang rasional dan bertanggung jawab. Ini adalah nilai hakiki gerakan kaum muda dan leluhur kita telah membuktikan banyak hal tentang itu semua.

Hadirin yang saya hormati,
HPMIG sebagai kumpulan intelektual muda Gorontalo tidak lahir dari ruang hampa. HPMIG lahir dari sebuah gagasan besar yang visionable. Di era 50 sampai 60-an, sekelompok intelektual muda Gorontalo duduk bersama dalam suasana dialektika yang nyaman. Mencita-citakan Gorontalo yang maju dan sejajar. Sehingga, secara fair harus dinyatakan bahwa perhimpunan ini tidak dapat dipisahkan dalam perjalanan Provinsi Gorontalo, dari awal pembentukannya hingga hari ini.

Hadirin yang saya hormati,
Dalam perkembangannya HPMIG sudah selayaknya melebarkan gagasannya dalam lingkungan strategis yang lebih luas. Ini mesti dilakukan sebagaimana cita-cita tokoh-tokoh pergerakan nasional asal Gorontalo, yang dengan tegas dan penuh keyakinan untuk berbakti pada ibu pertiwi Indonesia. Mewujudkan cita-cita perjuangan the founding fathers dalam kerangka NKRI. Karena mereka, leluhur kami, telah berucap “sekali ke Jogja tetap ke Jogja”, 65 tahun silam.

Hadirin yang saya hormati,
Semua yang telah dipaparkan di atas, sungguh menjadi kunci bagi kita agar Indonesia yang kita cintai tetap utuh dan berjaya di 10 sampai 20 tahun yang akan datang. Soliditas yang menjadi energi, kebhinekaan yang menjadi kunci, dan produksi gagasan yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran yang berkeadilan, menjadi poin penting dalam membangun kerangka peradaban Indonesia yang lebih layak. Kita dikaruniai wilayah yang sangat luas, yang terbentang dari Sabang ke Merauke, dari Miangas ke Pulau Rote. Kita mempunyai sumber daya alam yang berlimpah. Kita memiliki sumberdaya manusia yang tangguh, yang terus dapat ditingkatkan keunggulan dan daya saingnya.

Karenanya, dengan semua ini, ke depan, Indonesia mempunyai peluang emas untuk menjemput apa yang kita sebut sebagai the windows of the opportunity. HPMIG bersama-sama organisasi lainnya akan menjadi bagian dari perjuangan nilai yang luhur itu.

Terima Kasih,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tomy Ishak