Kita "bisa" jika NIAT lebih dahulu merasuk PIKIRAN

Kita "bisa" jika NIAT lebih dahulu merasuk PIKIRAN
Diatas putihnya kertas ada coretan tinta hitam yang menjadi arsip perjuangan kita!!!

Senin, 28 Februari 2011

AGRESI

Psikoanalisa Erich Fromm
Apakah kekerasan itu suatu potensi bawaan atau bukan? Fromm meninjau kembali konsep agresi psikonalisa Freud, membandingkannya dengan berbagai gejala sifat destruktif individu dan masyarakat.
Fenomena kekerasan pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak diturunkannya manusia di dunia, sejarah kekerasan telah ditampilkan oleh anak turun Adam-Hawa, dengan tewasnya Habil di tangan Qobil. Inilah tragedi kekerasan pertama yang disertai dengan pemaksaan kehendak terhadap seseorang dalam literatur sejarah peradaban manusia. Bahkan, sampai sekarang, kekerasan seakan menjadi simbol untuk menjadi penekan atas pengakuan "kedaulatan" seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain.
Setidaknya, ornamen kekerasan selalu muncul dalam setiap pergantian sejarah peradaban manusia. Kekerasan akan mencapai puncaknya dengan munculnya tragedi peperangan. Namun peperangan yang paling destruktif dan paling kejam, menurut Fromm dalam catatan kakinya, adalah adanya perang saudara yang tidak saja akan menghancurkan secara fisik, namun lebih jauh akan saling menghancurkan secara ekonomi, sosial, politik kedua pihak yang saling bertikai. Sebab kekerasan tersebut pada akhirnya hanya akan menjadi semacam tradisi bilamana salah satu dari keduanya merasa terancam, yang itu akan bergantung dari besar kecilnya ancaman yang dirasakan. Dan kenyataan membuktikan, dalam kekerasan yang cenderung mentradisi, letupan sekecil apapun akan meledak sedemikian dahsyatnya.
Dalam buku yang mencoba mengupas akar kekerasan pada diri manusia ini diketengahkan analisa Sigmund Freud dengan teori instingnya maupun Konrad Lorenz dengan teori agresinya, yang mendapat kritik tajam Erich Fromm. Manusia, kata Freud, tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting seksual dan insting mempertahankan diri, yang lantas ini diperbarui kembali dengan konsepnya yang menyatakan tentang insting eros (kehidupan) dan insting kematian. Para penganut Freud mengkompromikan insting destruktif sebagai kutub lain dari insting seksual. Sebaliknya, insting kematian bisa menjadi picu merusak diri, atau kecenderungan merusak pihak lain. Hal ini merupakan pengembangan dari asumsi dasar bahwa manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk merusak, serta pilihan untuk lepas dari pengaruh tersebut terbatas. Sehingga kecenderungan agresi, bagi Freud, bukan reaksi atas stimulan yang muncul melainkan memang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Pendek kata, bahwa perilaku agresi manusia adalah tak lepas dari hasratnya sebagai manusia.
Sedangkan Lorenz mengupas sebab adanya kekerasan adalah dari faktor biologis di luar kendali manusia yang disebabkan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Energi yang mengumpul dan mengendap siap meledak, meski tanpa adanya stimulan. Dengan kata lain, bahwa sebenarnya agresi sudah ada dan terpasang pada diri tiap manusia. Sehingga dengan stimulan paling kecil pun, atau tanpa adanya stimulan, agresi tersebut tetap akan mencari pelampiasan. Malah menurut Lorenz dibentuknya partai politik oleh manusia adalah guna menemukan stimulan untuk melepaskan energi agresi yang tertekan.
Bila pernyataan Freud atau Lorenz benar, bahwa perilaku manusia tidak akan menyimpang dari insting kemanusiaannya dan respon agresi dari faktor eksternal, lantas apa bedanya hewan dengan manusia? Bukankah keduanya sama-sama memiliki insting kehidupan dan kematian? Karena hewan pun mempunyai insting kehidupan, bertahan diri dari serangan atau ancaman dari luar. Nampaknya inilah yang akan menjadi sasaran kritik Fromm. Menurutnya, Freud tak cukup konsekwen dengan konsepnya. Agresi yang tercermin dalam perilaku manusia tak cukup hanya dirangkum dalam satu hasrat. Antara insting pelestarian diri-libido dan insting kehidupan-kematian adalah berlawanan satu sama lain. Dengan demikian Freud telah menyatukan kecenderungan-kecenderungan yang pada kenyataannya bukan merupakan satu kesatuan. Sedangkan teori Lorenz pada intinya ada dua. Pertama, bahwa agresi pada dasarnya sudah tertanam pada diri manusia. Dan yang kedua adanya dorongan tenaga hidrolik, sebagai tenaga pelampiasan melakukan hal keji dan kejam. Menurut Fromm tidak cukup bukti pendukung yang bisa diketengahkan teori tersebut. Karena teori tersebut bersimpul pada satu kategori, yaitu agresi. Sedangkan Fromm menguraikan agresi dengan pendekatan psikoanalisis. Psikoanalisis tersebut pada dasarnya adalah teori tentang upaya non nurani, resistensi, pemalsuan realita menurut kebutuhan subjektif, harapan, karakter dan konflik antara upaya-upaya berhasrat yang terkandung di dalam ciri pembawaan dengan tuntutan pemertahanan-diri. Sehingga sejauh mana seseorang dapat menekan hasratnya bukan hanya tergantung pada faktor internal diri seseorang, melainkan juga pada situasi. Dengan demikian agresi sama sekali bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman, meski pada umumnya semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman terhadap kepentingan hayati. Dalam bentuk yang lebih kompleks adalah ancaman terhadap kebutuhan akan ruang fisik dan atau terhadap struktur sosial suatu kelompok.
Ditinjau dari hasrat dan kondisi sosial manusia, baik itu dalam struktur sosial maupun sistem kelompok, akan mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam kepentingan hayatinya. Namun untuk memahami fenomena kedestruktifan manusia tersebut, kata Fromm, yang perlu menjadi perhatian adalah diabaikannya makna dan motivasi spiritual religius ketika dalam suasana dan kondisi yang berkecamuk. Bangsa, negara dan kehormatan warganya menjadi sesuatu yang disembah-sembah, dan kedua pihak yang saling bertikai dengan rela mengorbankan dirinya, anaknya serta harta bendanya demi "sesembahan" tersebut. Di sini Fromm menganalogikan sebuah ritual keagamaan (sekte) ke dalam situasi tak menentu massa, yaitu dengan menggambarkan "seseorang atau kelompok berani bertaruh apa saja demi apa yang dibelanya meski absurd". Fromm menekankan bahwa untuk memahami semua fenomena kedestruktifan dan kekejaman perlu mendalami motivasi religius yang mungkin ada di dalamnya, bukannya motivasi kedestruktifan dan kekejaman itu sendiri.
Mengapa manusia cenderung menggunakan kekerasan? Apakah kedestruktifan kelompok yang saling bertikai merupakan hasil dari hasrat mempertahankan diri? Dalam pembahasan agresi yang banyak percabangannya, disinggung adanya agresi dan narsisisme. Orang yang mempunyai narsistik tinggi merasa sangat perlu mempertahankan citra diri. Jika citra diri itu terancam, akan bereaksi dengan kemarahan yang amat sangat, dengan atau tanpa memperlihatkannya atau tanpa menyadarinya. Sedangkan pada narsisme kelompok, yang menjadi objek adalah kelompok tersebut. Dikatakan bahwa narsisme kelompok merupakan salah satu sumber utama keagresifan manusia. Bila pelecehan simbol narsisme kelompok dilakukan kelompok lain, maka reaksi kemarahan yang sedemikian besar akan terjadi bahkan sangat mendukung kebijakan perang yang dilontarkan pemimpinnya. Namun tentunya ini bikan faktor tunggal, ada motivasi lain yang mungkin lebih dari sekedar demi citra diri kelompok, bertahan maupun penegasan diri atau kelompok.
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa kedestruktifan maupun kekerasan dalam masyarakat tak jauh dari karakter sosial masyarakat sendiri. Sebab karakter merupakan ciri khas di mana energi manusia ditata untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu bertindak secara naluriah. Kelompok-kelompok manusia sedari dulu hidup dalam suasana keragaman. Konsep karakter sosial didasarkan pada pemahaman bahwa tiap bentuk masyarakat perlu menggunakan kelebihan manusia (dibandingkan dengan hewan) dengan cara-cara yang khas yang diperlukan untuk peranan masyarakat itu sendiri. Proses perubahan energi psikis umum menjadi energi psikososial khusus dijembatani oleh karakter sosial. Pendek kata, masyarakat harus memiliki dan mengetahui keinginan untuk melakukan apa yang harus mereka kerjakan jika ingin tertata baik. Sedangkan sarana pembentuk karakter, menurut Fromm, pada dasarnya bersifat budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Google, Web Indonesia. Psikoanalisa Erich Fromm : Menelusuri Akar Kekerasan Manusia.. 11 September 2003 10:25.
Erich Fromm. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia Penerjemah : Imam Mutaqin.  Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Januari 2000.
PROSOSIAL
PERILAKU PROSOSIAL ANTARA  SUKU BANGSA MELAYU DAN  SUKU BANGSA TIONGHOA

Pendahuluan
Indonesia sejak dulu dikenal oleh dunia karena masyarakatnya memiliki perilaku prososial yang tinggi seperti tercermin dalam perikehidupan yang rukun, solidaritas sosial yang tinggi, saling menolong, saling bekerja sama, saling mensejahterakan, dan penuh keramahan. Akhir-akhir ini banyak ahli harus mengernyitkan dahinya untuk dapat memahami berbagai fenomena  dan dinamika sosial yang berkembang dalam masyarakat. Para ahli menengarai terjadinya pergeseran dalam orientasi nilai hidup manusia Indonesia sebagai akibat proses industrialisasi dan modernisasi serta pembangunan yang terlalu menitikberatkan pada sektor ekonomi di masa yang lalu. Manusia Indonesia ditengarai mulai menunjukkan ciri-ciri dan karakteristik kepribadian yang individualistik, materialistik dan hedonistik. Sinyalemen ini diperkuat oleh adanya kenyataan yang berkembang dalam masyarakat yang menunjukkan masyarakat Indonesia menjadi mudah kehilangan pertimbangan terhadap efek perilakunya terhadap sesama warga bangsa seperti terjadinya tragedi kemanusiaan di Ambon dan Aceh.
Pada masa orde baru sebetulnya telah banyak upaya yang dilakukan untuk memelihara, meningkatkan serta mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa dan kesetiakawanan sosial di antara warga bangsa yang cukup intensif seperti tercermin dalam Penataran P4 dan Gerakan Kesetiakawanan Sosial Nasional, serta berbagai upaya yang dilakukan masyarakat. Upaya-upaya tersebut nampaknya belum optimal dapat memelihara, meningkatkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa yang luhur dan terpeliharanya kesetiakawanan sosial yang tinggi di antara warga bangsa. Kondisi tersebut terjadi karena perubahan dan pergeseran orientasi nilai hidup manusia Indonesia, serta adanya keragaman dari berbagai kelompok suku bangsa yang ada.
Atas dasar itu, maka penulis membatasi cakupan kelompok etnik yang akan diteliti pada kelompok etnis Melayu dan Tionghoa yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Penulis berpendapat kedua kelompok etnis tersebut berhadapan dengan suatu realitas yang memberikan rona dan corak tersendiri bagi perjalanan hidup bangsa Indonesia di masa depan, sehingga penelitian terhadap kedua kelompok etnik tersebut diharapkan dapat memberikan  gambaran atau proyeksi tentang masyarakat Indonesia umumnya.
Pada sisi lain berbagai perubahan nilai akan berdampak terhadap orientasi hidup dan eksistensi generasi baik generasi tua dan generasi muda. Kedua kelompok generasi yang berbeda usia tersebut akan menghadapi realitas perubahan sosial yang hebat. Generasi muda merupakan kelompok yang paling rentan terhadap berbagai perubahan nilai dalam hidup, seperti rentannya generasi muda terhadap nilai-nilai hidup yang berorientasi  material, global dan universal sehingga menjadi individualistik, materialistik dan hedonik. Generasi muda cenderung mudah terjerumus ke dalam pola-pola hidup yang merugikan seperti penyalahgunaan narkoba dan zat-zat adiktif.  Perhatian terhadap orientasi nilai dan perilaku kedua generasi tersebut penting untuk dilakukan.
Selain itu, manusia tidak lepas dari status jenis kelamin, dan para ahli telah banyak mengupas perbedaan biologis, psikologis dan psiko-sosial kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan  (Hasbianto, 2000). Realitas perkembangan menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan peranan yang sama dan komplementer, sehingga upaya mengungkap bagaimana orientasi nilai dan kecenderungan perilaku prososial mereka dalam konstelasi perubahan sosial yang berlangsung cepat kiranya juga perlu diungkap.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan penelitian ini adalah apakah ada perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial antara orang suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa, antara generasi tua dan generasi muda.
Kerangka Konseptual
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengertian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat dan psikologis. Secara antropologis Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas baik individu maupun kelompok. Secara filosofis, Spranger (1928) menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang  tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Spranger corak sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang  paling bernilai.
Orang akan memandang segala sesuatu dengan kacamata nilai hidup yang dihargainya paling tinggi atau dominan itu sehingga nilai hidup yang lain yang berasal dari pengertian kebudayaan secara luas, akan diwarnai juga oleh nilai hidup yang dominan itu. Spranger menggolongkan adanya enam lapangan nilai, yaitu : (1). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, meliputi lapangan pengetahuan, lapangan ekonomi, lapangan kesenian, dan lapangan keagamaan. (2). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota masyarakat, yaitu : lapangan kemasyarakatan, dan lapangan politik. Pengertian nilai dari persepektif psikologis dikemukakan Munn (1962) bahwa nilai merupakan aspek kepribadian, sesuatu yang dipandang baik, berguna atau penting dan diberi bobot tertinggi oleh seseorang.
Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok dan menjadi referensi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya.
Kebudayaan merupakan adat istiadat yang menyangkut nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup sehari-hari yang dianut oleh sekelompok orang dan berfungsi sebagai pedoman tingkah laku. Menurut Bath (Suparlan, 1986) setiap golongan suku bangsa atau etnik mempunyai seperangkat kebudayaan yang melekat pada identitas suku bangsa atau etnik tersebut, yang sewaktu-waktu bila diperlukan dapat diaktifkan sebagai simbol-simbol untuk identifikasi dan untuk menunjukkan adanya batas-batas sosial dengan golongan suku bangsa atau etnik lainnya  dalam interaksi. Menurut Ghalib orang suku Melayu adalah mereka yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan beristiadat Melayu ( dalam Budisantoso, 1986). Tradisi kehidupan orang Melayu di Riau meletakkan sistem nilai agama Islam sebagai sistem nilai yang utama (Hamidy, 1995). Dalam kehidupan orang Melayu senantiasa ditekankan tentang kehidupan yang saling menghormati, saling memberi, rukun dan damai, rasa persaudaraan dan kekeluargaan, keramah-tamahan dan keterbukaan, kesetiakawanan, tenggang rasa, kemauan untuk bekerja keras, hemat dan prasaja (Diah dkk. 1988). Orang suku bangsa Melayu yang baik selalu merendahkan diri, tidak menonjolkan dirinya, tidak mau memaksakan kemauannya jika bertentangan dengan kemauan orang lain, senantiasa sahaja dan sedia kompromi (Rab, 1986). Nilai-nilai tersebut diperkenalkan dan ditanamkan sejak dini kepada anak-anak Melayu. Proses perubahan sosial juga tidak luput terus melanda masyarakat Melayu sehingga mungkin telah berdampak pada telah terjadinya berbagai perubahan nilai.
Perilaku prososial menurut William (1981) adalah tingkah laku seseorang yang bermaksud merubah keadaan psikis atau fisik penerima sedemikian rupa, sehingga si penolong akan merasa bahwa si penerima menjadi lebih sejahtera atau puas secara material ataupun psikologis. Pengertian tersebut menekankan pada maksud dari perilaku untuk menciptakan kesejahteraan fisik maupun psikis. Bartal (1977) mengemukakan perilaku prososial adalah tingkah laku yang menimbulkan konsekuensi positif bagi kesejahteraan fisik maupun psikis orang lain. Perilaku tersebut meliputi pengertian yang luas sehingga dalam penelitian ini penulis membatasi perilaku prososial pada perilaku menolong, bekerja sama, menyumbang dan membagi, serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain. Perilaku prososial dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu : (1) faktor situasional yang meliputi : kehadiran orang lain,   faktor lingkungan dan kebisingan, faktor tanggung jawab, faktor kemampuan yang dimiliki, faktor desakan waktu, latar belakang keluarga, dan (2) faktor internal yang meliputi : faktor pertimbangan untung rugi, faktor nilai-nilai pribadi, faktor empati, suasana hati (mood), faktor sifat, faktor tanggung jawab, faktor agama, tahapan moral, orientasi seksual, jenis kelamin, (3) faktor penerima bantuan yang meliputi : karakteristik orang yang memerlukan pertolongan, kesamaan penolong dengan yang memerlukan pertolongan, asal daerah, daya tarik fisik, (4) faktor budaya meliputi : nilai dan norma yang berlaku pada suatu masyarakat khususnya norma tanggung jawab sosial, norma timbal balik dan norma keadilan.
Rokeach (1973) mengemukakan lelaki mempunyai orientasi nilai yang lebih tinggi terhadap prestasi dan intelektual, lebih materialistic, berorientasi intelektual dan prestasi, lebih mencari kesenangan dari pada wanita, sedang wanita menempati nilai yang lebih tinggi dalam cinta, afiliasi dan keluarga, berorientasi nilai-nilai religius, kebahagiaan personal, self respect, kehidupan pribadi yang bebas konflik, bebas konflik antar kelompok.
Perbedaan perilaku prososial antara lelaki dengan perempuan masih menunjukkan kekaburan. Dari segi stereotif sosial wanita dianggap lebih perhatian, lebih emosional dan lebih sensitive terhadap kebutuhan orang lain dari pada lelaki. Lelaki diharapkan lebih kuat dan lebih tegas (Bem, 1974; Eagly, 1987; Piliavin dan Unger, 1985; Spence dan Helmreich, 1978 dan sarwono, 1997). Pandangan sosiologis lelaki diharapkan berperanan sebagai pelindung keluarga mereka, sementara perempuan diharapkan komitmen perhatiannya terhadap orang lain. Baron dan Byrne (1991) mengemukakan bahwa perbedaan tingkah laku prososial antara lelaki dengan perempuan sangat tergantung pada situasi dan macam perlakuan yang memerlukan pertolongan.


DAFTAR PUSTAKA
Adisubroto, D. 1987. Orientasi Nilai Orang Jawa serta ciri-ciri kepribadiannya, Disertasi (tidak diterbitkan), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bartal, D., 1976. Proposal Behavior : Theory and Reseach Washington, D.C. Hemisphere Publishing Co.
Hidayat, Z.M. 1977. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, Bandung :  Tarsito.
Spranger, E. 1928. The Types Of Men : The Psychology And Athics Of Personality. Max Niemeyer Verlag, Halle (Saale)
ALTRUISME
HUBUNGAN ANTARA MOTIF SOSIAL DENGAN PERILAKU ALTRUISME
Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan sehingga mereka saling tolong menolong. Perilaku altruisme merupakan perilaku menolong yang tidak mengharapkan imbalan yang dimotivasi untuk mensejahterakan orang lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara motif sosial dengan perilaku altruisme. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 75 mahasiswa fakultas psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta. Untuk pengambilan data menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara motif sosial dengan perilaku altruisme. Ada hubungan anatara motif berprestasi dengan perilaku altruisme. Tidak ada hubungan anatar motif berafiliasi dengan perilaku altruisme. Tidak ada hubungan antara motif berkuasa dengan perilaku altruisme.
Di Indonesia, ketika kita berbicara tentang kepentingan umum dan pribadi, hampir dapat dipastikan akan menjumpai ungkapan klise semacam, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Ungkapan itu telah diterima sebagai kebenaran umum selama beberapa dekade. Bahkan sampai sekarang. Hal itu masih dianggap sebagai hal yang ideal.
Kenyataannya seiring dengan kemajuan teknologi informasi, sekarang ini kita dengan mudah dapat memperoleh informasi apapun dari belahan bumi manapun yang kita inginkan. Bersamaan dengan itu kita juga menerima hal-hal baru yang ikut serta berupa nilai-nilai, yang sifatnya kebalikan dari apa yang telah kita yakini sejak awal. Secara umum di dalam setiap buku atau film yang dihasilkan oleh barat, tampak bahwa mereka lebih egois dibanding masyarakat timur pada umumnya. Hal ini berarti kebalikan dari premis awal yang kita pahami sebelumnya -mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.
Dalam situasi dunia yang serasa semakin mengecil karena kemudahan dalam mendapat informasi, dan kesadaran yang timbul bahwa sebagai warga dunia kita saling bergantung, nilai-nilai yang umum berlaku di suatu kawasan juga ikut mengalami penyebaran. Keadaan ini kemudian menimbulkan clash. Di satu sisi, ajaran lama untuk mendahulukan kepentingan umum masih melekat di alam bawah sadar, di sisi lain kita cenderung menunjukkan bahwa kita lebih mendahulukan kepentingan pribadi.

Mari kita tengok ke belakang, kalimat mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi bahkan tercantum dalam UUD 45, dasar negara kita. Jadi secara resmi sikap itulah yang mempunyai nilai baik dan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Tetapi lihat saja, apakah keadaan seperti itu yang terjadi saat ini? Mungkin jawabannya adalah Ya, tetapi hanya terjadi pada masyarakat kecil saja. Mereka inilah yang masih ingat untuk bersikap mendahulukan kepentingan umum. Misalnya untuk alasan pembangunan sering kali masyarakat harus rela mengorbankan hak miliknya -dengan dalih mendahulukan kepentingan umum tadi, diambil negara, tanpa atau hanya dengan penggantian yang sekedarnya.
Dibandingkan dengan mereka, bagaimanakah perilaku para elite negara ini. Kelihatannya jauh, bahkan sangat jauh dari sikap itu. Para elite kita umumnya lebih mendahulukan agenda-agenda yang berhubungan dengan kepentingan pribadi atau golongan mereka daripada kepentingan rakyat banyak (yang seharusnya mereka wakili, fasilitasi dan lindungi)
Saat kita membaca buku -pengarang luar, saat kita menonton film -lebih banyak film luar, atau kita membuka atau mencari tahu segala macam informasi di internet -disediakan oleh orang luar, secara tidak langsung pola pikir, nilai-nilai, terutama yang tersirat di buku atau film atau informasi-informasi tersebut ikut meresap dalam benak kita. Jadi sikap mereka yang rasional dan praktis yang tercermin dalam buku-buku dan film itu terserap oleh kita. Kadang-kadang hal itu terselubung dalam satu istilah modern. Jika kita dapat berpikir rasional dan praktis itu menjadi ukuran bahwa kita sudah modern.
Padahal, suka atau tidak, pada saat kita menerapkan pola pikir rasional dan praktis, kita cenderung akan egois. Sifat egois -mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, lahir dari sikap rasional dan praktis. Padahal kembali lagi, sikap rasional dan praktis itulah yang modern. Sehingga terjadi kontradiksi di sini. Melihat susunan piramida masyarakat, tentulah para elite yang berada di atas. Mereka yang punya kemampuan lebih banyak untuk mengakses informasi semacam itu, mereka pula yang kemudian terlebih dahulu mampu untuk berpikir rasional dan praktis, dan kemudian menjadi egois.
Sebenarnya hal itu tidak selalu berarti buruk. Dalam ukuran yang tepat kita memang harus egois. Ada pepatah yang berbunyi, sebelum bisa menyelamatkan orang lain, selamatkan dirimu sendiri. Persis begitu keadaannya. Bila ditabrakkan dengan nilai-nilai kita, kedengaran tidak menyenangkan bukan? Wah memikirkan diri sendiri. Tapi kalau kita telaah lebih lanjut memang harus begitu yang terjadi. Contohnya apabila kita semua hampir tenggelam di laut karena kapal yang kita tumpangi karam, kita harus menyelamatkan diri sendiri dulu baru kita bisa menolong orang lain. Apakah ini egois? Tidak. Rasional, ya. Tapi kesan yang ditangkap bila diukur dengan nilai-nilai kita? Ya, itu egois.
Benturan antara modernitas plus pemikiran rasional dan praktisnya di satu sisi dengan nilai-nilai lama kita untuk selalu mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Dengan tidak bermaksud melakukan pembenaran atas apa yang sering kita lihat -tingkah polah eksekutif kita yang sering dituding hanya mementingkan golongannya atau mencari keuntungan pribadi, tetapi hanya mengajak untuk melihat hal ini dari kaca mata yang lain.
Mungkin kita harus mendefinisikan ulang tentang mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi ini atau istilah kerennya altruisme. Dalam konteks apa sifat altruisme ini dikembangkan. Dalam konteks apa pula mau tidak mau kita harus egois. Ini bertabrakan, tidak ketemu. Itulah sebabnya kita juga bingung. Maunya bersikap altruis, tapi kalau dinalar baik-baik tindakan kita akan jadi egois. Apa yang harus kita lakukan?
Supaya dapat melihat situasi yang yang dihadapi dengan lebih jelas dan dapat berpikir lebih jernih. Sehingga kita dapat memilih tindakan yang tepat untuk dilakukan. Jangan terjebak dengan permainan kata altruis atau egois. Ini tidak mudah. Tapi kita betul-betul tidak dapat mematok ukuran suatu sikap sebagai sikap yang paling tepat. Semua akan tepat pada situasi yang tepat.
Kita semua sedang menggeliat mencari sikap yang paling tepat untuk menggabung dua kepentingan ini, menjaga kepentingan umum tetap dipenuhi tapi juga tidak mengabaikan kepentingan pribadi.
Karena bila hanya salah satu sikap yang kita ambil, akan ada ruang yang kosong dalam diri kita yang minta diisi. Seperti halnya segala sesuatu terdiri atas 2 sisi, begitupun sifat manusia. Ada altruis, ada egois. Tidak perlu menonjolkan salah satu sampai yang lain tenggelam. Cukup seimbangkan. Begitu seimbang, keduanya akan lenyap. Tidak ada altruis yang berlebihan, tidak ada egois yang menyakitkan. Kapan hal itu datang? Saat kita lebih tenang. Dan ketenangan itu harus diusahakan, karena alaminya kita sulit untuk tenang.

DAFTAR PUSTAKA

Hesty Lestiani.  Blog News Heny Lestiani, Google;web dari Indonesia.
Rostiana, MSi., Psi. dan M. Nisfiannoor Msi., Psi.  Suatu Studi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar